OLEH : Dr. KH Irfan Aziz, M.Ag
Pengasuh Pondok Pesantren Al Hayatul Islamiyah Kota Malang
مَا تَرَكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْئًا مَنْ اَرَادَ اَنْ يُحْدِثَ فِى الْوَقْتِ غَيْرَ مَا اَظْهَرَهُ الله فِيْهِ
“Termasuk suatu kebodohan adalah orang yang meninggalkan apa yang sudah dimilikinya, Karena hendak mencari yang baru dalam suatu waktu, padahal Allah telah memilih baginya pada waktu itu”.
Segala sesuatu yang terjadi adalah ketetapan Allah yang tidak bertentangan dengan hukumnya, perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain ditetapkan oleh Allah juga tidak bertentangan dengan sunnatullah, jika seorang hamba ingin merubah apa yang telah diputuskan oleh Allah sungguh suatu hal yang mustahil. Karena iradah Allah (kehendak-Nya) adalah mutlak, takdir (keputusan-Nya) adalah suatu yang tetap dan tidak bisa di ubah, kecuali oleh kehendak-Nya.
Saudara…!!! Adalah sangat tidak pantas dan bukan pada tempatnya (bodoh) apabila seseorang ingin merubah keadaan diwaktu Allah telah menetapkan dirinya pada satu waktu yang telah ditentukan, misalnya seseorang yang sedang sakit minta disembuhkan pada waktu itu juga atau orang miskin minta kaya tanpa ada jarak waktu dan usaha diwaktu itu pula. Inilah yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu Athaillah “Termasuk suatu kebodohan orang yang meninggalkan apa yang sudah dimilikinya, karena hendak mencari yang baru dalam satu waktu”.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Ketetapan dan keputusan Allah kepada manusia dengan kodrat dan iradah-Nya tidak menyalahi kondisi manusia, segala keputusan-Nya adalah rahmat bagi manusia. Iradat Allah sesuai dengan ikhtiar manusia, sedangkan ikhtiar manusia sesuai dengan izin Allah, hasil dari ikhtiar itulah yang dinamakan takdir.
اِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَـتَّى يُغَيِّرُ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga mereka mau merubahnya sendiri”.
Saudara seiman dan seagama,
Hanya orang yang beriman dan berma’rifatullah mempunyai hati yang cemerlang sehingga ia mampu mencerna dan menerima segala keputusan Allah Azza Wajalla, apa saja yang di alaminya adalah kehendak-Nya yang dipilih dan terbaik bagi dirinya.
Orang yang imannya sempurna adalah orang yang mampu bermusyahadah (melihat Allah di balik kejadian yang di hadapinya). Hal itu di sebabkan kedua indranya berfungsi yaitu:
Pertama, indera bashara yakni indra dhohir atau indera rasional yang dapat melihat segala sesuatu yang bersifat dhohir.
Yang kedua, Indera bashirah yaitu indra batin yang dapat menterjemahkan segala sesuatu dengan mata hati atau pandangan spiritual. Pasti segala sesuatu yang di alaminya akan dibaca dengan mata hatinya.
Saudara…!!! Selama kita tidak mampu menterjemahkan ketetapan Allah melalui mata batin, maka sepanjang itu pulalah kita belum mempunyai keimanan yang sempurna. Sesuai dengan firman-Nya. QS.Al-Hujarat ayat 14 :
“Orang-orang Arab Baduwi itu berkata “kami telah beriman” katakanlah (kepada mereka) “kamu belum beriman, tetapi katakanlah, kami telah tunduk”. Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan RasulNya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Ma’asyiral Muslimin yang di rahmati Allah,
Untuk menjadikan kita sebagai hamba yang dapat bermusyahadah (dapat melihat Allah di balik kejadian yang dihadapi) maka di perlukan adanya 3 tingkatan Ilmu yaitu :
- Pertama, Ilmu Yaqin ialah ilmu pengetahuan yang menjadikan kita yakin kepada Allah dengan menggunakan pendekatan rasional, argumentasi ilmiah sehingga kita mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang haq dan mana yang batil, sehingga kita dapat melakukan yang haq dan mampu menjauhi yang bahtil.
- Kedua, Ainul Yaqin yaitu pendekatan memahami Allah dengan cara menekuni berlatih dan beristiqomah. walau tidak memiliki ilmu teori, tetapi mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, hal ini disebabkan adanya keistiqomahan dalam menjalani kebaikan dan menjauhi segala larangan Allah SWT. Orang yang mempunyai Ainul Yaqin pandangan matanya mampu menembus dimensi ghaib, sehingga ia mampu menjalani agamanya dengan keyakinan yang tinggi.
- Adapun yang ketiga Haqqul Yaqin yaitu orang-orang yang mampu marasakan langsung segala apa yang dilakukannya. Bila kebaikan yang dikerjakannya, ia dapat merasakan kenikmatan. Sebaliknya ia merasakan siksa langsung menimpanya, dikala melakukan kesalahan di hadapan Allah SWT.
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini. (ajal)”.(Q.S. Al Hijr : 99)
Saudara…!!! Apabila 3 keyakinan itu telah melekat pada jiwa seorang hamba pastilah ia akan ridha atas segala keputusan (takdir) Allah.
“Balasan mereka disisi Tuhan mereka ialah surga Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. (Al-Bayyinah : 8)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Orang yang mampu menjalani hidupnya dengan yakin pasti ia akan ridha atas segala kejadian yang di alaminya dan ia mampu menterjemahkan serta sanggup mengambil hikmah dari segala apa yang menimpanya. Maka sungguh tepat apabila Ibnu Athaillah dalam mutiara hikmahnya berkata “Termasuk suatu kebodohan adalah orang yang meninggalkan apa yang sudah dimilikinya, karena hendak mencari yang baru dalam satu waktu, padahal Allah telah memilih baginya pada waktu itu”.